Pergi

Suatu hari yang pasti akan ada masanya datang dan pergi. Terkadang ditinggal pergi pas lagi sayang-sayangnya juga ditinggal pergi pas lagi nyaman-nyamannya. Hal itu tidak bisa kita hindari atau ditahan-tahan karena sejatinya kita hanya dititipi dan tidak pernah memiliki. Layaknya petugas parkir. Ia dititipi banyak kendaraan dan ia pun tak pernah sombong karena dirinya menyadari betul bahwa semua kendaraannya hanya titipan yang suatu saat nanti akan diambil oleh pemiliknya. Begitu pun yang terjadi pada kita. Apa-apa yang ada dalam kehidupan kita suatu hari nanti sangat mudah bagi pemiliknya untuk mengambilnya. Pantaskah kita takut kehilangan, sedangkan diri kita saja bukan milik kita sendiri?

Aku begitu terkejut di tengah-tengah cerita Dela. Mulutku seraya berkata “Innalillahi wa innailaihi roji’un.” Kabar duka datang tak disangka-sangka. Seakan waktu terhenti, napas, dan aktivitas lainnya pun tertahan. Ada jeda untuk menyerap setiap kata yang diucapkan sang teman. Nyatanya emak memang sudah berada di alam yang berbeda. Emak sudah kembali ke pangkuan-Nya.

Tidak ada tangis, tapi ada pilu. Tidak ada rasa memiliki, tapi ada rasa kehilangan. Tiba-tiba wajahnya terlihat jelas di mataku, senyumnya terlukis indah dalam memori ku. Emak pernah menjadi bagian dari hidupku, bagian dari inspirasiku. Pipiku kembali merasakan hangatnya ciuman emak, eratnya pelukan emak, dan teduhnya sorot mata emak. Bersamanya aku tidak pernah kehilangan sosok nenek.

Emak Kidang. Begitulah orang memanggilnya. Beliau manusia baik, manusia luar biasa. Aku memang bukan siapa-siapanya, tapi emak selalu menganggap aku siap-siapnya. Aku mengenalnya dan bertemunya saat sedang belajar di pesantren. Diusia senjanya Emak tetap dengan semangat mudanya rutin menghadiri pengajian bulanan dan kegiatan penting lainnya di pesantren. Hampir beliau tidak pernah absen. Aku awalnya kaget bertemu dengan Emak. Emak dengan antusias mencium dan memelukku. Sejak saat itu aku dan emak melakukan hal yang sama setiap bertemu. Secara nasab kami bukan siapa-siapa, tapi secara batin ada yang selalu terasa dekat dan nyaman.

Emak … maaf. Di saat-saat terakhirmu aku tak membersamaimu. Aku pun tidak mengurusimu, memandikanmu, mengafanimu, menyalatkanmu, dan menguburkanmu. Emak … maaf. Waktu itu engkau ingin sekali kan, bertemu dengan Bi Neng? Dan aku tidak bisa mengantarkanmu. Tapi Emak … aku sangat senang bisa menjadi bagian dari hidupmu. Aku senang bisa menuntunmu melangkah menuju masjid. Kakimu yang tidak lagi kokoh selalu terlihat kuat bersama semangat belajarmu yang tak pernah surut. Jika aku malas, maka aku akan membaca kisah ini lagi. Kisah di mana sebuah kesungguhan dan tekad yang kuat dalam belajar ada dalam diri seorang emak.

Dulu emak pernah bercerita. Kalau tidak salah seperti ini ceritanya. Waktu itu usianya menginjak 40 tahunan. Namun, emak ingin kembali belajar. Hal ini pun didukung penuh oleh Aki, sang pujaan hati. Aki … terima kasih sudah membiayai dan mendukung emak. Semoga kelak suatu hari nanti teman hidupku pun memiliki jiwa yang besar seperti aki, hehehe. Semoga kelak akan lahir perempuan dan laki-laki hebat seperti emak dan aki.

Mungkin aku tidak pernah berfoto dengannya, tapi sosoknya selalu ada dalam hatiku. Mungkin 5-10 tahun ke depan wajahnya akan terlihat samar-samar, tetapi tulisan ini akan abadi dan mengikat semua rasa yang pernah ada. Hari ini bukan makanan atau pun sifat dunia lainnya yang emak butuhkan, melainkan hadiah Al-fatihah yang ia harapkan. Ya Allah … emak orang baik, ampunilah dosa-dosanya dan terimalah amal ibadahnya. Teruntuk orang-orang yang kita sayangi, yang telah pulang mendahului kita, Al-fatihah.

Wafat

Senin, 10 Januari 2022

Dari cucumu yang tidak kau kenal namanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses cookies to offer you a better browsing experience. By browsing this website, you agree to our use of cookies.